Dahulu, di
Sumatera Barat, tersebutlah sebuah kerajaan bernama Kerajaan
Pagaruyung.
Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Rakyatnya
senantiasa hidup aman, damai, dan tenteram. Suatu ketika, ketenteraman negeri
itu terusik oleh adanya kabar buruk bahwa Kerajaan Majapahit dari Pulau Jawa
akan menyerang mereka. Situasi tersebut tidak membuat para punggawa Kerajaan
Pagaruyung gentar.
“Musuh pantang dicari, datang pantang
ditolak. Kalau bisa dihindari, tapi kalau terdesak kita hadapi,” demikian
semboyan para pemimpin Kerajaan Pagaruyung.
Suatu
hari, pasukan Kerajaan Majapahit tiba di Kiliran Jao, sebuah daerah di dekat
perbatasan Kerajaan Pagaruyung. Di tempat itu pasukan Kerajaan Majapahit
mendirikan tenda-tenda sembari mengatur strategi penyerangan ke Kerajaan
Pagaruyung. Menghadapi situasi genting itu, para pemimpin Pagaruyung pun segera
mengadakan sidang.
“Negeri kita sedang terancam bahaya. Pasukan
musuh sudah di depan mata. Bagaimana pendapat kalian?” tanya sang Raja yang
memimpin sidang tersebut.
“Ampun, Paduka Raja. Kalau boleh hamba usul,
sebaiknya kita hadapi mereka dengan pasukan berkuda dan pasukan gajah,” usul
panglima perang kerajaan.
“Tunggu dulu! Kita tidak boleh gegabah,”
sanggah Penasehat Raja, “Jika kita serang mereka dengan pasukan besar,
pertempuran sengit pasti akan terjadi. Tentu saja peperangan ini akan
menyengsarakan rakyat.”
Suasana sidang mulai memanas. Sang Raja yang
bijaksana itu pun segera menenangkannya.
“Tenang, saudara-saudara!” ujar sang Raja,
“Saya sepakat dengan pendapat Paman Penasehat. Tapi, apa usulan Paman agar
peperangan ini tidak menelan korban jiwa?”
Pertanyaan
sang Raja itu membuat seluruh peserta sidang terdiam. Suasana pun menjadi
hening. Semua perhatian tertuju kepada Penasehat Raja itu, mereka tidak sabar
lagi ingin mendengar pendapatnya. Beberapa saat kemudian, Penasehat Raja itu
pun angkat bicara.
“Ampun, Paduka Raja. Untuk menghindari
terjadinya pertumpahan darah, alangkah baiknya jika musuh kita ajak berunding.
Kita sambut mereka di perbatasan kemudian berunding dengan mereka. Jika mereka
menolak, barulah kita tantang mereka adu kerbau,” ungkap Penasehat Raja.
“Hmmm... ide yang bagus,” kata sang Raja,
“Bagaimana pendapat kalian semua?”
“Setuju, Paduka Raja,” jawab seluruh peserta
sidang serentak.
Selanjutnya,
sang Raja bersama punggawanya pun menyusun strategi untuk mengalahkan musuh
tanpa pertumpahan darah. Sang Raja segera memerintahkan kepada putri Datuk
Tantejo Garhano untuk menghiasi anak-anak gadisnya dan dayang-dayang istana
yang cantik dengan pakaian yang indah. Datuk Tantejo Garhano adalah seorang
putri yang memiliki tata krama dan kelembutan. Sifat-sifat itu telah diajarkan
oleh Datuk Tantejo Garhano kepada anak-anak gadisnya serta para dayang istana.
Setelah
semua siap, Datuk Tantejo Garhano bersama anak-anak gadisnya serta
dayang-dayang istana menuju ke perbatasan untuk menyambut kedatangan pasukan
musuh. Mereka pun membawa berbagai macam makanan lezat untuk menjamu pasukan
Majapahit. Sementara itu, dari kejauhan, pasukan Pagaruyung terlihat sedang
berjaga-jaga untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Tak berapa
lama setelah rombongan Datuk Tantejo Garhano tiba di perbatasan, pasukan musuh
dari Majapahit pun sampai di tempat itu.
“Selamat datang, Tuan-Tuan yang budiman,”
sambut Datuk Tantejo Garhano dengan sopan dan lembut. “Kami adalah utusan dari
Kerajaan Pagaruyung. Raja kami sangat senang dengan kedatangan Tuan-Tuan di
istana. Tapi sebelumnya, silakan dicicipi dulu hidangan yang telah kami
sediakan! Tuan-Tuan tentu merasa lapar dan lelah setelah menempuh perjalanan
jauh.”
Melihat
perlakuan para wanita cantik itu, pasukan Majapahit menjadi terheran-heran.
Mereka sebelumnya mengira bahwa kedatangan mereka akan disambut oleh pasukan
bersenjata. Namun, di luar dugaan, ternyata mereka disambut oleh puluhan
wanita-wanita cantik yang membawa hidangan lezat. Dengan kelembutan para wanita
cantik tersebut, pasukan Majapahit pun mulai goyah untuk melancarkan serangan
hingga akhirnya menerima tawaran itu.
Setelah
pasukan Majapahit selesai menikmati hidangan dan beristirahat sejenak, Datuk
Tantejo Garhano segera mengajak pemimpin mereka ke istana untuk menemui sang
Raja.
“Mari, Tuan! Raja kami sedang menunggu Tuan
di istana!” bujuk Datuk Tantejo Garhano dengan santun.
“Baiklah, saya akan segera menemui Raja
kalian,” jawab pemimpin pasukan itu.
Setiba di
istana, Datuk Tantejo Garhano langsung mengantar pemimpin pasukan itu masuk ke
ruang sidang. Di sana, sang Raja bersama punggawanya terlihat sedang duduk
menunggu.
“Selamat datang, Tuan,” sambut sang Raja,
“Mari, silakan duduk!”
“Terima kasih, Paduka,” ucap pemimpin itu.
“Ada apa gerangan Tuan kemari?” tanya sang
Raja pura-pura tidak tahu.
“Kami diutus oleh Raja Majapahit untuk
menaklukkan Pagaruyung. Kami pun harus kembali membawa kemenangan,” jawab
pemimpin itu.
“Oh, begitu,” jawab sang Raja sambil
tersenyum, “Kami memahami tugas Tuan. Tapi, bagaimana kalau peperangan ini kita
ganti dengan adu kerbau. Tujuannya adalah untuk menghindari pertumpahan darah
di antara pasukan kita.”
Pemimpin
pasukan Majapahit itu terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun
menyetujui usulan sang Raja.
“Baiklah, Paduka Raja. Kami menerima tawaran
Paduka,” jawab pemimpin itu.
Akhirnya,
kedua belah pihak bersepakat untuk beradu kerbau. Jika kerbau milik sang Raja
kalah, maka Kerajaan Pagaruyung dinyatakan takluk. Tapi, jika kerbau milik
Majapahit kalah, mereka akan dibiarkan kembali ke Pulau Jawa dengan damai.
Dalam
kesepakatan tersebut tidak ditentukan jenis maupun ukuran kerbau yang akan
dijadikan aduan. Oleh karena ingin memenangi pertandingan tersebut, pasukan
Majapahit pun memilih seekor kerbau yang paling besar, kuat, dan tangguh.
Sementara itu, sang Raja memilih seekor anak kerbau yang masih menyusu. Namun,
pada mulut anak kerbau itu dipasang besi runcing yang berbentuk kerucut. Sehari
sebelum pertandingan itu dihelat, anak kerbau itu sengaja dibuat lapar dengan
cara dipisahkan dari induknya.
Keesokan
harinya, kedua kerbau aduan segera dibawa ke gelanggang di sebuah padang yang
luas. Para penonton dari kedua belah pihak pun sedang berkumpul di pinggir
arena untuk menyaksikan pertandingan yang akan berlangsung sengit tersebut.
Kedua belah pihak pun bersorak-sorak untuk memberi dukungan pada kerbau aduan
masing-masing.
“Ayo, kerbau kecil. Kalahkan kerbau besar
itu!” teriak penonton dari pihak Pagaruyung.
Dukungan dari pihak pasukan Majapahit pun tak
mau kalah.
“Ayo, kerbau besar. Cincang saja anak kerbau
ingusan itu!”
Suasana di
tanah lapang itu pun semakin ramai. Kedua kerbau aduan telah dibawa masuk ke
dalam arena. Suasana pun berubah menjadi hening. Penonton dari kedua belah
pihak terlihat tegang. Begitu kedua kerbau tersebut dilepas, kerbau milik
Majapahit terlihat beringas dan liar. Sementara itu, anak kerbau milik
Pagaruyung segera memburu hendak menyusu pada kerbau besar itu karena mengira
induknya.
Tak ayal,
perut kerbau milik Majapahit pun terluka terkena tusukan besi runcing yang
terpasang di mulut anak kerbau milik Pagaruyung. Setelah beberapa kali tusukan,
kerbau milik pasukan Majapahit akhirnya roboh dan terkapar di tanah. Melihat
kejadian itu, penonton dari pihak Pagaruyung pun bersorak-sorak gembira.
“Manang kabau..., Manang kabau...,” demikian
teriak mereka.
Akhirnya,
pasukan Majapahit dinyatakan kalah dalam pertandingan tersebut. Mereka pun
diizinkan kembali ke Majapahit dengan damai. Sementara itu, berita tentang
kemenangan kerbau Pagarayung tersebar ke seluruh pelosok negeri. Kata “manang
kabau” yang berarti menang kerbau pun menjadi pembicaraan di mana-mana.
Lama-kelamaan, pengucapan kata “manang” berubah menjadi kata “minang”. Sejak
itulah, tempat itu dinamakan Nagari
Minangkabau, yaitu sebuah nagari (desa) yang bernama Minangkabau.
Sebagai
upaya untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk negeri Pagaruyung merancang
sebuah rumah rangkiang
(loteng) yang atapnya menyerupai bentuk tanduk kerbau. Konon, rumah itu
dibangun di perbatasan, tempat pasukan Majapahit dijamu oleh para wanita-wanita
cantik Pagaruyung.
Demikian
cerita Asal Mula Nama
Nagari Minangkabau dari Sumatra Barat. Cerita di atas hanyalah
sebuah legenda yang tidak mesti sesuai dengan fakta sejarah. Terlepas dari
benar atau salah cerita di atas, yang penting adalah pesan moral yang
terkandung di baliknya. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik adalah bahwa
penyelesaian sebuah masalah tidak harus selalu diakhiri dengan kekerasan. Masih
banyak jalan lain yang bisa ditempuh, salah satunya adalah jalan perundingan.
1 komentar:
terima kasih infonya, kunjungi juga blog saya ya www.belajarbahasaasing.com
Posting Komentar